Logo

Joti Mahulfa, Bahagia Melihat Senyum Para Penyitas yang Sudah Pulih

Joti Mahulfa, Koordiantor Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia

Joti Mahulfa, Koordiantor Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia

“Pada saat menangani korban, saat korban menangis, aku ikut menangis. Padahal seharusnya saat orang menangis kita yang menguatkan,” tutur Joti, mengenang saat-saat ia harus melakukan pendampingan.

Joti Mahulfa, biasanya dipanggil Joti. Lulusan Program Studi Kesejahteraan Sosial, Universitas Bengkulu (Unib) alumni tahun 2009. Saat di bangku kuliah, Joti sudah beraktivitas di lembaga advokasi hak-hak perempuan dan anak, Women’s Crisis Center (WCC). Keprihatinan dan rasa ingin menolong korban perempuan, membuat Joti memutuskan untuk mengabdikan diri menjadi pendamping korban kekerasan seksual setelah kuliahnya selesai.

“Saat masih di WCC itu saya banyak bertemu dengan penyintas kekerasan di berbagai daerah di Bengkulu. Saya mulai belajar menangani penyintas, termasuk belajar lebih kuat ketika menghadapi persoalan korban yang cukup berat,” kata Joti.

Pertemuan Joti dengan para penyintas membuatnya mengalami reorientasi hidup. Sejak saat itu ia memantapkan dirinya untuk terus terlibat. “Itu yang membuat aku berupaya untuk membantu mereka walaupun hanya sedikit,” imbuh Joti.

Beragam pengalaman sudah dilalui Joti. Meskipun sulit, perempuan yang telah dikarunia tiga orang anak ini tidak pernah menyerah. Seperti ketika menangani sebuah kasus di Talo Kabupaten Seluma. Ia dan temannya harus berjuang melintasi jalan yang terjal, hanya menggunakan sepeda motor dengan jarak 80 kilometer.

Penolakan dari keluarga atas profesi pilihannya juga Joti alami. Orang tuanya sempat memintanya untuk berhenti, dengan dalih pekerjaan tersebut membahayakan dan gaji yang sangat yang kecil. Namun hal tersebut tidak membuat Joti surut. Hingga akhirnya tahun 2011 Joti mulai bekerja sebagai Pekerja Sosial (Peksos) di Kementerian Sosial RI. Tugas pertamanya menangani anak-anak disabilitas di wilayah Argamakmur.

Empat tahun berselang, Joti dipindah tugaskan ke Dinas Sosial Kota Bengkulu dengan fokus pada anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Di sini, ia kembali mendapat tempat untuk meneruskan perjuangan yang sempat ia tunda. Yakni membela hak perempuan dan anak.

Satu pengalaman pendampingan yang hingga saat ini masih membekas di benak Joti adalah saat ia dihadapkan oleh kasus pelecehan oleh keluarga kandung. Ia merasa miris karena penyitas yang masih berusia anak tidak memiliki tujuan hidup. Bahkan penyintas dibenci oleh keluarga besar dan hampir dibunuh.

“Prosesnya sangat berat, tapi akhirnya kasus tersebut dapat diselesaikan dan memberikan penyitas yang baru saat ini penyintas masih dalam tahap pemulihan,” katanya.

Joti berpesan untuk setiap penyintas kekerasan agar tidak menyalahkan diri sendiri. Sebaliknya harus bangkit dari trauma yang dialami.

“Juga harus berani untuk memutus segala bentuk kekerasan yang lain, kalian bisa bangkit dari kekerasan itu dan menjadi contoh baik bagi teman-teman yang mengalami kekerasan,” lanjut Joti yang saat ini didapuk menjadi koordiantor Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (PPHAM) Bengkulu.

Perempuan Pembela HAM Rentan Mengalami Kekerasan

PPHAM merupakan perempuan yang bekerja untuk layanan perempuan korban kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi, menghadapi risiko, ancaman, kekerasan, dan kerentanan khususnya karena jenis kelamin, orientasi seksual dan identitas gendernya.

PPHAM tersebar di seluruh Indonesia, berjejaring dan tergabung dalam Indonesia Protection for Women Human Rights Defenders atau WHRD Network IPROTECTNOW, yakni gerakan yang berfokus pada pemenuhan hak-hak Perempuan di Indonesia.

Di Bengkulu, koalisi PPHAM mulai terbentuk pada tanggal 28 Mei 2022. Koalisi ini merupakan gabungan beberapa organisasi, diantaranya WCC, Yayasan PUPA, dan lembaga layanan lain dengan misi yang sama. Tujuannya untuk memaksimalkan pembelaan hak-hak perempuan serta hak para pendamping. Hingga saat ini, tercatat ada 58 penyitas kekerasan seksual yang masuk dalam naungan PPHAM.

Joti tidak menapik, pekerjaan sebagai perempuan pembela HAM rentan kekerasan. Sehingga penting bagi Joti dan rekan lainnya memikirkan bagaimana mereka dapat menjamin keamanan sesama perempuan pembela HAM sehingga dapat melakukan layanan pendampingan.

“Bagaimana sih kita membantu orang tetapi kita sendiri tidak terbantu. Makanya kita memikirkan buat koalisi agar pemerintah melirik kita, bahwa kita ini pembela HAM yang tidak diperhatikan HAM-nya kita,” papar Joti.

Menurut Joti, relawan atau pendamping juga harus mendapat perhatian, khususnya dari pemerintah. Sejauh ini, para pendamping tidak memiliki jaminan kesehatan maupun keselamatan saat melakukan tugas-tugas pendampingan. Koalisi ini diharapkan dapat mendorong pemerintah agar memperhatikan dan membela para relawan yang berjuang saat bertugas mendampingi para penyintas.

“Kami sering usir di lapangan. Pernah berhadapan dengan penghinaan, cacian, dilecehkan dan intimidasi dari keluarga pelaku. Bahkan rekan kami juga ada yang keguguran, siapa yang tanggung jawab, tidak ada kan?” tanya Joti.

Hingga saat ini pemerintah belum memiliki kebijakan khusus terhadap jaminan perlindungan sosial bagi PPHAM, sehingga harus mengupayakan sendiri untuk memenuhi kebutuhan perlindungan sosial. Lembaga Layanan belum punya mekanisme khusus untuk perlindungan hak-hak PPHAM, khususnya hak atas jaminan sosial, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan perumahan, dan jaminan sosial lainnya.

Hak perempuan pembela HAM masih minimnya akses terhadap jaminan sosial. Hasil riset yang dilakukan di 6 provinsi di Indonesia yakni, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, Bengkulu, DKI Jakarta dan dengan melibatkan 34 orang narasumber PPHAM dan pimpinan lembaga yang bekerja sebagai pendamping, menunjukan hanya 17 orang atau 50 persen yang menyatakan bahwa mereka mendapatkan jaminan sosial, sedangkan 17 orang PPHAM menyatakan tidak memiliki jaminan sosial.

Perempuan pembela HAM juga mengalami berbagai kerentanan mulai dari keselamatan diri, kesehatan, maupun karena kondisi khusus mereka (disabilitas, ODHA, memiliki identitas minoritas agama/kepercayaan dan seksual, maupun berstatus sebagai penyintas).

“Karena kami juga butuh keamanan, kesehatan dan kebahagian. Bagaimana kami di masa tua, karena kalau kita dalam proses pendampingan, sering terjadi ancaman, guncangan. Itu yang sering masing-masing kami hadapi. Padahal bisa melihat senyum para penyitas bangkit kami sudah bahagia sekali, tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Teman-teman di koalisi itu bekerja tanpa pamrih,” pungkas Joti.

*) Tulisan ini diproduksi kerjasama Bincang Perempuan dan Bengkulu News sebagai program peningkatan kapasitas jurnalis perempuan menulis berita berperspektif gender “Perempuan dalam Ruang Publik”