Logo

Refleksi Singkat Diskusi Publik dengan Tema “Kajian HAM; Upaya Merebut Kembali Hak-hak yang Dirampas”

Refleksi Singkat Diskusi Publik dengan Tema “Kajian HAM; Upaya Merebut Kembali Hak-hak yang Dirampas”

BENGKULU – Pada tanggal 27 Oktober 2024 Merawat Nalar mengadakan diskusi publik dengan tema “Kajian Ham; Upaya Merebut Kembali Hak- Hak Yang Dirampas”.

Diskusi dihadiri berbagai kelompok mahasiswa seperti OKP, BEM dan komunitas- komunitas mahasiswa lainnya. Diskusi dibuka oleh moderator dengan menerangkan betapa sangat pentingnya kajian HAM harus meluas dikalangan mahasiswa.

Tentu penyampaian moderator bukan tanpa alasan, tapi justru ia punya latar belakang yang cukup mengkhawatirkan. Pada 19 dan 20 Oktober lalu kita disuguhkan oleh pengalaman pahit diracunnya kehidupan demokrasi di Indonesia.

Potongan video pendek tersebar massif tentang dibubar paksanya aksi- aksi damai yang menuntut adili dosa- dosa Jokowi. Pada hari itu seketika Indonesia negara hukum yang tertuang pada konstitusi lenyap berubah menjadi kesemena-menaan kekuasaan.

Pembubaran paksa aksi- aksi damai tersebut merupakan cerminan otoritatifnya kekuasaan yang tidak mendasarkan diri pada hukum. Akibatnya KEBEBASAN BEREKSPRESI terancam secara faktual.

Kita mengetahui bahwa konstitusi hadir dalam kehidupan bernegara salah satu tujuan dan fungsinya adalah untuk menjamin perlindungan terhadap HAM dan membatasi kekuasaan.

Seperti adagium abad pertengahan yang menyatakan “kekuasaan cenderung korup, sementara kekuasaan yang absolut sudah pasti korup”. Koruptif secara etimologis “adalah Tindakan menghancurkan dan merusak”.

Oleh sebab itu kekuasaan harus dibatasi oleh konstitusi sebagai penjamin hak- hak mendasar manusia. Jadi dapat disimpulkan bahwa membesarnya kekuasaan akibatnya adalah mengecilnya hak- hak sipil.

Karena itu demokrasi hadir dalam spektrum mengecilkan kuasa negara dan diberikan sebesar-besarnya untuk rakyat. Tapi sayangnya harapan utopis terhadap demokrasi yang ideal itu selalu dipatahkan oleh kebusukan kekuasaan.

Kita tahu yang tadinya hukum dan konstitusi merupakan alat untuk membatasi kekuasaan dan kemudian mendistribusikan keadilan, tapi di 10 tahun Jokowi menjabat ia mempraktekan diktator klasik yang hanya mengubah istilah atau sebatas nama. Jika dulu praktek diktator adalah hukum raja, maka 10 tahun terakhir ini negara memakai hukum sebagai alat kekuasaan.

Setiap waktu rakyat di suguhkan dengan undang- undang seperti ciptaker (omnibus law) yang berkali- kali ditentang tapi tidak diperdulikan kekuasaan. Kpk dikebiri, RUU Masyarakat adat yang menjadi payung kearifan bangsa indonesia belasan tahun tidak disahkan, petani tidak punya tanah di negeri agraris, ribuan guru menangisi hak honornya dan hak udara bersih dibumihanguskan dengan program nasional PLTU Batubara. Hak- hak semacam inilah yang dirampas habis oleh kekuasaan dan negara.

Belum lagi kalau kita bicara tentang pelanggaran HAM dimasa lampau yang tidak pernah selesai mendapat keadilan. Kita akan digiring kepada kondisi nyawa dan kemanusian tidak lebih berharga dari kekuasaan.

Pada titik tolak ini fasilitator dan peserta diskusi dihadapkan oleh kejumudan dalam pencarian keadilan. Menaruh harapan kepada kekuasaan adalah dilematis terbesar dalam konsepsi HAM. Sebab pelanggaran HAM tidak terjadi dalam hubungan antar individu.

Jika terjadi pelanggaran hak antar individu maka yang berlaku adalah hukum konvensional. Maka pelanggaran HAM selalu pelakunya adalah negara dan kekuasaan. Sebab amanat konstitusi jelas menitipkan jaminan perlindungan HAM kepada negara.

Ditengah jengahnya perlindungan HAM, forum diskusi menyadari bahwa Langkah fundamental yang harus dilakukan sedini mungkin adalah penyadartahuan seluas- luasnya tentang kondisi hari ini dan kondisi ideal yang semestinya dicapai.

Penyadartahuan harus menyebar secara sistematis dan terukur sebagai upaya perlindungan diri dari kebengisan kekuasaan. Sebab kekuasaan ia mempunyai struktur hirarkis yang bekerja berdasarkan perintah, terlebih dari itu ia juga mempunyai sumber daya material yg setiap saat dipungut dari rakyat.

Maka Upaya perlawanan terhadap kuasa yang sewenang- wenang tidak akan mampu dicapai tanpa spritualitas moral sebagai patokan dasar yang kemudian pembangunan kekuatan kerangka logis pengorganisasian untuk menyebar penyadartahuan secara sistematis.

Mungkin hanya ini refleksi yang penulis mampu tuangkan sebagai bahan perenungan dan kajian ilmiah penulis untuk mencapai kesadaran utuh tetang HAM.

Dan jika ekspresi refleksi ini dianggap begitu keras terhadap kekuasaan maka posisikan refleksi ini sebagai Upaya mendidik penguasa melalui kritik.

Penulis: Andika Apriliyanto