Logo

Langkah Maju Hukum Konservasi Indonesia

Anggota Conservation Response Unit (CRU) Indonesia bekerja bersama gajah yang terancam punah di Taman Nasional Genung Leuser pada tahun 2020.Anggota Conservation Response Unit (CRU) Indonesia bekerja bersama gajah yang terancam punah di Taman Nasional Genung Leuser pada tahun 2020. Panyahatan Siregar, Credits Wikimedia Commons CC BY 4.0

Anggota Conservation Response Unit (CRU) Indonesia bekerja bersama gajah yang terancam punah di Taman Nasional Genung Leuser pada tahun 2020.Anggota Conservation Response Unit (CRU) Indonesia bekerja bersama gajah yang terancam punah di Taman Nasional Genung Leuser pada tahun 2020. Panyahatan Siregar, Credits Wikimedia Commons CC BY 4.0

Setelah hampir satu dekade direvisi, undang-undang konservasi di Indonesia akhirnya masuk ke dalam agenda legislasi nasional. DPR periode 2019-2024  (dua komisi) bekerja sama dengan enam kementerian dan perwakilan daerah bekerja untuk mengamandemen undang-undang utama. Upaya ini mengirimkan sinyal yang kuat kepada publik bahwa konservasi sumber daya alam dan ekosistem Indonesia yang berharga sangat penting bagi negara. (UU Konservasi terbaru disahkan tanggal 7 Agustus 2024).

Kebijakan konservasi utama atau Undang-Undang Konservasi (1990) tidak lagi memadai untuk mengatasi ancaman terhadap keanekaragaman hayati yang terus meningkat. Ancaman yang sedang berlangsung seperti hilangnya habitat, perdagangan satwa liar yang ilegal dan tidak berkelanjutan, serta konflik antara manusia dan satwa liar, kini diperparah oleh perubahan iklim. Sementara itu, kemajuan pesat dalam teknologi informasi telah mengubah praktik perdagangan satwa liar ilegal ke dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya melalui penggunaan media sosial secara masif. Hal-hal tersebut hanyalah dua dari sekian banyak alasan yang menggarisbawahi urgensi untuk merevisi undang-undang tersebut. Inti dari urgensi ini adalah fakta menyedihkan bahwa kepunahan tidak bisa menunggu.

Dengan lebih dari 17.000 pulau yang membentang sepanjang 5.400 km di sepanjang garis khatulistiwa, Indonesia merupakan tempat yang subur bagi keanekaragaman hayati dan rumah bagi banyak spesies yang terkenal dan kharismatik secara internasional, seperti orangutan, hiu paus, dan komodo. Hutan seluas 120,5 juta hektar membantu 37,2 juta orang mencari nafkah, dan pada saat yang sama memainkan peran penting dalam mengurangi dampak buruk perubahan iklim.

Menyadari besarnya kebutuhan akan kegiatan-kegiatan besar yang digerakkan oleh ekonomi seperti perluasan pertanian, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur, pemerintah Indonesia mendorong upaya-upaya untuk menyeimbangkannya tanpa mengorbankan konservasi. Pada tahun 2011, pemerintah mengeluarkan kebijakan moratorium hutan, ditambah dengan peraturan lainnya untuk menekan laju deforestasi. Laju deforestasi telah menurun secara konsisten selama 4 tahun terakhir dibandingkan dengan tahun 2018.

Di bawah undang-undang konservasi Indonesia, semua spesies yang termasuk dalam daftar yang dilindungi dilarang untuk digunakan secara komersial, sedangkan spesies yang tidak dilindungi dapat dieksploitasi dengan syarat dan ketentuan tertentu. Pada tahun 2018, pemerintah menambahkan 227 spesies baru ke dalam daftar tersebut, yang berarti 904 spesies telah dilindungi dan diprioritaskan dalam program konservasi pemerintah.

Namun, tantangan konservasi alam dan keanekaragaman hayati menjadi semakin rumit. Dapat dimengerti bahwa konteks hukum yang dibuat tiga dekade lalu menjadi kurang efektif saat ini seiring dengan meningkatnya permintaan akan sumber daya alam untuk mendukung populasi manusia di dunia.

Undang-undang konservasi yang direvisi harus mencakup tindakan-tindakan yang membahas nilai-nilai inti konservasi seperti melindungi satwa liar dan habitatnya, meminimalkan dampak manusia terhadap lingkungan, mendorong pembangunan berkelanjutan, dan memanfaatkan sumber daya secara bertanggung jawab. Secara keseluruhan, reformasi ini dapat memastikan bahwa ekosistem tetap utuh dan spesies yang mengalami penurunan dapat pulih kembali. Ini juga merupakan kesempatan untuk mengurangi penyebaran patogen yang dapat menyebabkan pandemi seperti COVID-19.

Panen spesies dari alam liar harus dibatasi dan berbasis ilmu pengetahuan, menghormati musim kawin, dan yang terpenting, dapat dilacak.
Perkembangan baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dapat melengkapi upaya konservasi. Berbagai teknologi pemantauan, mulai dari penginderaan jarak jauh untuk melacak tutupan hutan, hingga kalung GPS untuk memahami pola jelajah suatu spesies, sangat berguna untuk mencapai target konservasi dan keberlanjutan. Ada juga banyak pendekatan pemodelan untuk memetakan luas dan distribusi keanekaragaman hayati.

Mungkin juga ada ruang dalam undang-undang untuk partisipasi publik dalam penelitian dan pemantauan. Ilmu pengetahuan warga dapat membantu pemerintah dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan untuk mengelola dan melestarikan keanekaragaman hayati Indonesia.

Semakin banyak orang yang terlibat dalam upaya konservasi, semakin dekat kita dengan keberlanjutan sistem penyangga keanekaragaman hayati dan kemanusiaan di bumi.

Penulis :

Noviar Andayani adalah dosen di Departemen Biologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam dan Matematika, Universitas Indonesia. Beliau juga seorang ilmuwan konservasi satwa liar terkemuka selama hampir 30 tahun yang melakukan inovasi terobosan untuk melestarikan satwa liar dalam Program Wildlife Conservation Society Indonesia. Dr. Andayani menyatakan bahwa ia tidak memiliki konflik kepentingan dan tidak menerima pendanaan khusus dalam bentuk apapun. Ia dapat ditemui di Twitter dengan akun @noviarandayani.

Artikel ini dipublikasikan dalam Bahasa Inggris tanggal 7 Maret 2023 di bawah lisensi Creative Commons oleh 360info™.