Logo

Politikus ‘Kutu Loncat’ Itu Lahir dari Parpol yang Keropos

Ilustrasi Politikus Kutu Loncat

Ilustrasi Politikus Kutu Loncat

Dua kader Partai Amanat Nasional (PAN) Bengkulu Suprianto dan Munir Sumarlin pindah haluan dengan mendukung pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Bengkulu Rohidin-Meriani. Sebelumnya, Zulkarnain Kaka Jodho (ZKJ) yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Bidang Media, Komunikasi dan Pelanggaran Opini Dewan Pimpinan Partai Golkar Provinsi Bengkulu juga berpindah haluan dengan mendukung Helmi Hasan. Tiga nama itu bukanlah orang biasa di kubu masing-masing. Bukanlah hanya sekedar kader atau simpatisan di luar struktur administrasi parpol.

Suprianto misalnya. Ia pernah menduduki kursi Ketua DPRD Kota Bengkulu priode 2019-2024 atas nama Fraksi PAN. Suprianto juga tercatat sebagai pengurus inti PAN Provinsi Bengkulu. Begitupun Munir. Mantan ASN ini bahkan menjabat sebagai Ketua DPD Partai Amanat Nasional (PAN) Kabupaten Benteng. Hal yang tak lebih baik juga dipertontonkan oleh Zulkarnain Kaka Jodho. Pentolan Golkar Provinsi Bengkulu tiba-tiba berpaling dari Rohidin dan Golkar setelah menunjukkan kesetiaannya sebagai juru bicara selama kepemimpinan Gubernur Rohidin.

Nama – nama besar di Indonesia juga tercatat pernah melakukan hal yang serupa. Seperti politisi PDIP Budiman Sudjatmiko, Effendi Simbolon, Maruarar Sirait dan Bobby Nasution yang mendukung Prabowo dan secara gamblang bertentangan dengan dukungan parpol. Sebagian nama itu akhirnya dipecat dari PDIP, meski pada akhirnya Budiman dapat jatah jabatan baru setelah Prabowo berhasil memenangkan pemilu dan dilantik sebagai presiden. Mungkin ini yang dicontoh Suprianto, Munir dan Zulkarnin, meskipun nasib ketiganya belum jelas hingga saat ini.

Walaupun tidak diatur secara hukum, dukungan terhadap partai yang berbeda sering kali mendapat kritik dari publik. Politisi yang memindahkan arah dukungan dan bertentangan dari keputusan parpol dianggap tidak memiliki loyalitas dan integritas terhadap ideologi partai. Apalagi jika alasannya karena “dendam” tidak dapat dukungan partai untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Seperti yang diungkapan Divisi Hukum DPW PAN Provinsi Bengkulu, Nopri, soal alasan Munir pindah dukungan.

Sayangnya, politik itu tidak bisa ditebak. Ada banyak hal yang mendasari perubahan arah politik baik secara kepartaian maupun individu di dalam partai. Dr. Pippa Norris, ilmuan politik di Universitas Harvard dalam penelitiannya menulis, pergeseran dukungan ini sering kali dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk motivasi pribadi, strategi partai, dan lingkungan politik yang lebih luas. Fenomena ini sangat relevan dalam iklim politik saat ini, saat loyalitas partai semakin diuji oleh sentimen publik dan daya tarik individu kandidat. Norris mencatat bahwa politisi mungkin mendukung partai yang berbeda untuk sejalan dengan gerakan populer atau memenuhi kebutuhan konstituen, mencerminkan identitas politik yang lebih fleksibel.

Politicio dalam artikel yang berjudul “Americans Are Leaving Both Parties. This Colorado City Shows Why” pernah membahas fenomena yang mereka sebut menjadi semakin umum di kalangan pemilih, terutama di kalangan generasi muda. Salah satu penjelasannya adalah bahwa banyak pemilih yang semakin merasa tidak terikat pada partai politik tradisional dan lebih memilih untuk mendukung kandidat berdasarkan isu-isu yang relevan daripada loyalitas partai. Perubahan ini juga mencerminkan pergeseran di dalam partai politik itu sendiri. Misalnya, banyak anggota partai mulai mendukung kandidat yang tidak sejalan dengan ideologi tradisional partai mereka, menciptakan koalisi yang bisa mengubah peta politik secara keseluruhan​

Politisi “Kutu Loncat”

Pada akhirnya, berbeda dukungan dengan partai yang menaungi akan berujung pada sanksi, hingga pemecatan. Kondisi ini akan melahirkan istilah ‘kutu loncat’, jika politisi yang berbeda dukungan itu memutuskan untuk pindah parpol. Namun, sulit mengatakan fenomena ini adalah hal yang luar biasa, khususnya di Indonesia. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat, sekitar 20 persen anggota DPR RI periode 2019-2024 pernah berpindah partai dari periode sebelumnya. Rekapitulasi Pemilu 2019 juga menunjukkan, dari 575 anggota DPR, sekitar 160 di antaranya adalah mantan anggota dari partai yang berbeda. Bahkan nama-nama besar seperti Anis Matta, Sandiaga Uno, Gibran Rakabuming Raka dan tokoh-terkenal lainnya pernah pindah parpol, atau setidaknya pindah dukungan.

Fenomena ini juga terjadi di negara besar seperti Amerika Serikat, meskipun jumlahnya sangat sedikit. Bahkan nama mentereng yang menghiasi sejarah demokrasi dunia seperti Ronald Reagan, pernah menjadi anggota Partai Demokrat sebelum menjabat sebagai presiden dari Partai Republik. Sejumlah alasan melatarbelakangi aksi tak setia ini. Mulai dari ambisi politik, ketidakpuasan internal dan perubahan ideologi partai.

Universitas Oxford dalam jurnal yang berjudul “Ideology and Party Switching: A Comparison of 12 West European Countries” menulis, sejumlah alasan yang mendasari seorang politisi untuk berpindah parpol, di antaranya perubahan dalam preferensi pemilih dan ketidakpuasan terhadap partai. Hal ini terkait dengan kecenderungan pemilih yang semakin lama semakin tidak terikat pada partai politik tertentu.

Studi di Brasil menunjukkan bahwa peralihan partai dapat mempengaruhi variabel politik dan ekonomi, mengindikasikan bahwa politisi dapat berpindah untuk memanfaatkan kondisi yang lebih menguntungkan​. Sedangkan penelitian di Eropa menunjukkan bahwa perubahan dalam platform partai dapat menyebabkan lebih banyak pergeseran, terutama jika partai tersebut mengalami kinerja pemilu yang buruk.

Jika diamati, PAN di Bengkulu merupakan pemenang kursi Walikota dua periode dan Suprianto adalah Ketua DPRD dari fraksi partai berlambang matahari ini pada periode 2019-2024. Begitupun Golkar yang berhasil menguasai kursi nomor satu di Provinsi Bengkulu selama dua periode. Bahkan Golkar saat ini sedang di atas angin dengan berhasil menduduki kursi Ketua DPRD Provinsi Bengkulu untuk lima tahun yang akan datang. Tentu bukanlah kinerja pemilu yang buruk yang melandasi ketiga politisi ini pindah arah, mengingat PAN juga kembali mendudukkan kadernya di kursi Ketua DPRD Kota Bengkulu.

Catatan Parpol

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menyebutkan anggota DPRD yang pindah partai politik harus mengundurkan diri. Pindah partai di tengah masa jabatan dapat memicu prosedur Pemberhentian Antar Waktu (PAW), yang harus diajukan oleh partai asal. Aturan ini dinilai bisa menjadi salah satu upaya menjaga integritas parpol dari adanya politisi “kutu loncat”. Selain itu, partai dapat menerapkan aturan internal dengan sanksi tegas bagi kader yang pindah arah.

Sayangnya, aturan ini sangat longgar. Ini bisa diakali dengan “berkhianat” di ujung jabatan seperti yang banyak dipertontonkan oleh politikus tanah air. Fahri Hamzah pada tahun 2016 lalu bahkan membuktikan aturan itu bisa “ditabrak”. Ia berhasil menggugat PKS dan mempertahankan posisinya di DPR. Lagipula, aturan ini tidak berlaku bagi kepala daerah. Ferry Ramli menujukkan hal ini dengan pindah ke partai Nasdem tahun 2019, padahal ia sebelumnya diusung oleh partai Golkar. Tapi Ferry tetap menjadi Bupati Bengkulu Tengah sampai akhir masa jabatan.

Artikel Tempo yang berjudul “Politisi Kutu Loncat atau Hobi Pindah Partai dan Problematikanya” menyatakan, fenomena politikus “kutu loncat” memang tidak bisa diikat oleh Undang-Undang karena menjadi urusan internal antara kader dengan parpol yang menaunginya. Namun, hal ini tidak dapat dilepaskan dari kondisi internal parpol. Parpol dinilai belum mempunyai aturan yang memadai sehingga menimbulkan celah bagi politikus untuk mudah keluar masuk parpol saat menduduki jabatan publik.

Peneliti senior Pusat Penelitian Politik (LIPI), Siti Zuhro menyatakan bahwa fenomena “kutu loncat” di kalangan politisi Indonesia sering disebabkan oleh kurangnya kaderisasi yang efektif dalam partai politik. Aktivitas penyusunan strategi dan manuver untuk memenangkan partai dipandang lebih penting oleh Parpol, sehingga hak otonom kader sering diabaikan dalam proses rekrutmen. Politisi lebih banyak dipilih berdasarkan kemampuan mereka untuk berkontribusi pada pemilihan umum, bukan karena komitmen ideologis terhadap partai. Lagipula, soal ideologi, perbedaan partai di Indonesia tidak begitu jelas.